Senin, 20 Oktober 2014

Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)



Paper Toksikologi


Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)


Diajukan untuk memenuhi tugas-tugas mata kuliah
Toksikologi Veteriner





Oleh :
Cut Shavrina Devinta Fauzi
1102101010043









FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2014


A.    Pengertian Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)

Berdasarkan Undang-Undang No. 23/ 1997 Bahan berbahaya dan beracun (B3) adalah setiap bahan yang karena sifat atau konsentrasinya, jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup lainnya.
Menurut PP No. 18 tahun 1999, yang dimaksud dengan limbah B3 adalah sisa suatu usaha dan atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan atau beracun yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan atau merusakan lingkungan hidup dan atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup lain.
Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1999
Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan.
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, disingkat Limbah B3 : sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain.
Pengelolaan Limbah B3 : rangkaian kegiatan yang mencakup reduksi, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan dan penimbunan limbah B3.
Penghasil limbah B3 : orang atau badan usaha yang menghasilkan limbah B3 dan menyimpan sementara limbah tersebut dalam lokasi kegiatannya sebelum diserahkan ke pihak lain.
Program kemitraan dalam pengeloaan limbah B3 yang selanjutnya disingkat KENDALI B3 adalah program secara kebersamaan antara Bapedal, Pemerintah daerah dan badan usaha dalam pengendalian limbah B3 dengan tujuan untuk mengelola limbah B3 yang dihasikan secara baik dan benar.

Definisi limbah B3 berdasarkan BAPEDAL (1995) ialah setiap bahan sisa (limbah) suatu kegiatan proses produksi yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) karena sifat (toxicity, flammability, reactivity, dan corrosivity) serta konsentrasi atau jumlahnya yang baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak, mencemarkan lingkungan, atau membahayakan kesehatan manusia.

B.     Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)

Secara spesifik pengelolaan B3 ini telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 74 tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun yaitu dengan meningkatnya kegiatan pembangunan terutama dibidang industri dan perdagangan, maka akan semakin meningkat penggunaan bahan berbahaya dan beracun. Hingga saat ini terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan bahan berbahaya dan beracun, akan tetapi pencegahan terjadinya pencemaran dan kerusakan linkungan hidup masih belum cukup memadai.
Beberapa usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya dampak yang dapat merusak lingkungan hidup, kesehatan manusia, dan makhluk hidup lainnya diperlukan pengelolaan B3 secara terpadu sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang didasarkan terhadap pertimbangan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 17 ayat (3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun.
Pengelolaan B3 adalah kegiatan yang menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan, menggunakan dan atau membuangnya. B3 dapat diregistrasikan dengan  pendaftaran dan pemberian nomor terhadap B3 yang ada di wilayah Republik Indonesia. B3 dapat disimpan dengan teknik penempatan B3 untuk menjaga kualitas dan kuantitas B3 dan/atau mencegah dampak negatif B3 terhadap lingkungan hidup, kesehatan manusia, dan makhluk hidup lainnya. B3 yang dapat dipergunakan atau dilarang dipergunakan adalah B3 yang dibatasi penggunaan, impor dan atau produksinya. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan. Gubernur, Bupati/Walikota dan Menteri adalah instansi yang bertugas untuk mengelola lingkungan hidup masyarakat dalam penggunakan bahan berbahaya dan beracun.









Tujuan pengelolaan bahan berbahaya dan beracun yaitu untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh limbah B3. Tujuan lain dari pengolahan B3 yaitu untuk dapat memperbaiki kualitas lingkungan yang sudah tercemar sehingga sesuai dengan fungsinya kembali.
Setiap kegiatan atau usaha yang berhubungan dengan B3, harus memperhatikan aspek lingkungan dan menjaga kualitas lingkungan tetap pada kondisi semula. Apabila terjadi pencemaran akibat bahan berbahaya dan beracun, maka harus dilakukan upaya secara optimal agar kualitas lingkungan kembali kepada fungsi semula.

C.         Klasifikasi Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)

Pengidentifikasian limbah bahan berbahaya dan beracun digolongkan ke dalam 2 kategori, yaitu:
1.      Berdasarkan sumber
2.      Berdasarkan karakteristik
Golongan limbah bahan berbahaya dan beracun yang berdasarkan oleh sumber dibagi menjadi:
1.      Limbah B3 dari sumber spesifik
2.      Limbah B3 dari sumber tidak spesifik
3.      Limbah B3 dari bahan kimia kadaluarsa, tumpahan, bekas kemasan dan buangan produk yang tidak memenuhi spesifikasi.
Klasifikasi bahan berbaya dan beracun yang berdasarkan karakteristik ditentukan dengan:
1.      Mudah meledak (explosive), yaitu bahan yang pada suhu dan tekanan standar (25 0C,760 mmHg) dapat meledak atau melalui reaksi kimia dan atau fisika dapat menghasilkan gas dengan suhu dan tekanan tinggi yang dengan cepat dapat merusak lingkungan di sekitarnya. Pengujiannya dapat dilakukan dengan menggunakan Differential Scanning Calorymetry (DSC) atau Differential Thermal Analysis (DTA), 2,4-dinitrotoluena atau Dibenzoil-peroksida sebagai senyawa acuan. Apabila nilai temperatur pemanasan suatu bahan lebih besar dari senyawa acuan, maka bahan tersebut diklasifikasikan mudah meledak.
2.      Pengoksidasi (oxidizing), yaitu pengujian bahan padat yang termasuk dalam kriteria B3 pengoksidasi dapat dilakukan dengan metoda uji pembakaran menggunakan ammonium persulfat sebagai senyawa standar. Sedangkan untuk bahan berupa cairan, senyawa standar yang digunakan adalah larutan asam nitrat. Dengan pengujian tersebut, suatu bahan dinyatakan sebagai B3 pengoksidasi apabila dalam waktu pembakaran bahan tersebut sama atau lebih pendek dari waktu pembakaran senyawa standar.
3.      Sangat mudah sekali menyala (extremely flammabel), adalah B3 baik berupa padatan maupun cairan yang memiliki titik nyala dibawah 00C dan titik didih lebih rendah atau sama dengan 35 0C.
4.      Sangat mudah menyala (highly flammable), adalah B3 baik berupa padatan maupun cairan yang memiliki titik nyala 00C – 210C.
5.      Mudah menyala (flammable) mempunyai salah satu sifat sebagai berikut :
a.       Bahan berupa cairan yang mengandung alkohol kurang dari 24% volume dan atau pada titik nyala (flash point) tidak lebih dari 600 C (1400 F) akan menyala apabila terjadi kontak dengan api, percikan api, atau sumber nyala lain pada tekanan udara 760 mmHg. Pengujiannya dapat dilakukan dengan metode “Closed-Up Test”.
b.      Bahan berupa padatan  yang  pada temperatur dan tekanan standar (250C, 760 mmHg) dengan mudah terjadinya kebakaran melalui gesekan, penyerapan uap air atau perubahan kimia secara spontan dan apabila terbakar dapat menyebabkan kebakaran yang terus menerus dalam 10 detik. Selain itu, suatu bahan padat diklasifikasikan B3 mudah terbakar apabila dalam pengujian dengan metode “ Seta closed-Up Flash Point Test” diperoleh titik nyala kurang dari 400C.
6.      Beracun (moderately toxic), yaitu B3 yang bersifat racun bagi manusia akan menyebabkan kematian atau sakit yang serius apabila masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan, kulit atau mulut.
7.      Berbahaya (harmful), adalah bahan baik padatan maupun cairan ataupun gas yang jika terjadi kontak atau melalui inhalasi ataupun oral dapat menyebabkan bahaya terhadap kesehatan sampai tingkat tertentu.
8.      Korosif (corrosive), adalah B3 yang bersifat korosif mempunyai sifat antara lain:
a.       Menyebabkan iritasi (terbakar) pada kulit
b.      Menyebabkan proses pengkaratan pada lempeng baja SAE 1020 dengan laju korosi lebih besar dari 6,35 mm/tahun dengan temperatur pengujian 55 0C.
c.       Mempunyai pH sama atau kurang dari 2 untuk B3 bersifat asam dan sama atau lebih besar dari 12,5 untuk yang bersifat basa.
9.      Bersifat iritasi (irritant), adalah bahan baik padatan maupun cairan yang jika terjadi kontak secara langsung, dan apabila kontak tersebut terus menerus dengan kulit atau selaput lendir dapat menyebabkan peradangan.
10.  Berbahaya bagi lingkungan (dangerous to the environment, yaitu bahaya yang ditimbulkan oleh suatu bahan seperti merusak lapisan ozon (misalnya CFC), persisten di lingkungan (misalnya PCBs), atau bahan tersebut dapat merusak lingkungan.
11.  Karsinogenik (carcinogenic), adalah sifat bahan penyebab sel kanker, yakni sel liar yang dapat merusak jaringan tubuh.
12.  Teratogenik (teratogenic), adalah sifat bahan yang dapat mempengaruhi pembentukan dan pertumbuhan embrio.
13.  Mutagenik (mutagenic), adalah sifat bahan yang menyebabkan perubahan kromosom yang berarti dapat merubah genetika.







D.       Teknologi Pengolahan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)

Terdapat banyak metode pengolahan limbah B3 di industri, tiga metode yang paling populer di antaranya ialah chemical conditioning, solidification/Stabilization, dan incineration.
1.        Chemical Conditioning
Salah satu teknologi pengolahan limbah B3 ialah chemical conditioning. Tujuan utama dari chemical conditioning ialah:
    • menstabilkan senyawa-senyawa organik yang terkandung di dalam lumpur
    • mereduksi volume dengan mengurangi kandungan air dalam lumpur
    • mendestruksi organisme patogen
    • memanfaatkan hasil samping proses chemical conditioning yang masih memiliki nilai ekonomi seperti gas methane yang dihasilkan pada proses digestion
    • mengkondisikan agar lumpur yang dilepas ke lingkungan dalam keadaan aman dan dapat diterima lingkungan

pengolahan limbah B3 dengan metode  Chemical conditioning terdiri dari beberapa tahapan sebagai berikut:
o   Concentration thickening, tahapan ini bertujuan untuk mengurangi volume lumpur yang akan diolah dengan cara meningkatkan kandungan padatan. Alat yang umumnya digunakan pada tahapan ini ialah gravity thickener dan solid bowl centrifuge. Tahapan ini pada dasarnya merupakan tahapan awal sebelum limbah dikurangi kadar airnya pada tahapan de-watering selanjutnya. Walaupun tidak sepopuler gravity thickener dan centrifuge, beberapa unit pengolahan limbah menggunakan proses flotation pada tahapan awal ini.
o   Treatment, stabilization, and conditioning, tahapan kedua ini bertujuan untuk menstabilkan senyawa organik dan menghancurkan patogen. Proses stabilisasi dapat dilakukan melalui proses pengkondisian secara kimia, fisika, dan biologi. Pengkondisian secara kimia berlangsung dengan adanya proses pembentukan ikatan bahan-bahan kimia dengan partikel koloid. Pengkondisian secara fisika berlangsung dengan jalan memisahkan bahan-bahan kimia dan koloid dengan cara pencucian dan destruksi. Pengkondisian secara biologi berlangsung dengan adanya proses destruksi dengan bantuan enzim dan reaksi oksidasi. Proses-proses yang terlibat pada tahapan ini ialah lagooning, anaerobic digestion, aerobic digestion, heat treatment, polyelectrolite flocculation, chemical conditioning, dan elutriation.
o   De-watering and drying, bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi kandungan air dan sekaligus mengurangi volume lumpur. Proses yang terlibat pada tahapan ini umumnya ialah pengeringan dan filtrasi. Alat yang biasa digunakan adalah drying bed, filter press, centrifuge, vacuum filter, dan belt press.
o   Disposal, ialah proses pembuangan akhir limbah B3. Beberapa proses yang terjadi sebelum limbah B3 dibuang ialah pyrolysis, wet air oxidation, dan composting. Tempat pembuangan akhir limbah B3 umumnya ialah sanitary landfill, crop land, atau injection well.

2.        Solidification/Stabilization
Di samping chemical conditiong, teknologi solidification/stabilization juga dapat diterapkan untuk mengolah limbah B3. Secara umum stabilisasi dapat didefinisikan sebagai proses pencapuran limbah dengan bahan tambahan (aditif) dengan tujuan menurunkan laju migrasi bahan pencemar dari limbah serta untuk mengurangi toksisitas limbah tersebut. Sedangkan solidifikasi didefinisikan sebagai proses pemadatan suatu bahan berbahaya dengan penambahan aditif. Kedua proses tersebut seringkali terkait sehingga sering dianggap mempunyai arti yang sama. Proses solidifikasi/stabilisasi berdasarkan mekanismenya dapat dibagi menjadi 6 golongan, yaitu:
·         Macroencapsulation, yaitu proses dimana bahan berbahaya dalam limbah dibungkus dalam matriks struktur yang besar
·         Microencapsulation, yaitu proses yang mirip macroencapsulation tetapi bahan pencemar terbungkus secara fisik dalam struktur kristal pada tingkat mikroskopik
·         Adsorpsi, yaitu proses dimana bahan pencemar diikat secara elektrokimia pada bahan pemadat melalui mekanisme adsorpsi.
·         Absorbsi, yaitu proses solidifikasi bahan pencemar dengan menyerapkannya ke bahan padat
·         Detoxification, yaitu proses mengubah suatu senyawa beracun menjadi senyawa lain yang tingkat toksisitasnya lebih rendah atau bahkan hilang sama sekali

Teknologi solidikasi/stabilisasi umumnya menggunakan semen, kapur (CaOH2), dan bahan termoplastik. Metoda yang diterapkan di lapangan ialah metoda in-drum mixing, in-situ mixing, dan plant mixing. Peraturan mengenai solidifikasi/ stabilitasi diatur oleh BAPEDAL berdasarkan Kep-03/BAPEDAL/09/1995 dan Kep-04/BAPEDAL/09/1995.

3.      Incineration
Teknologi pembakaran (incineration ) adalah alternatif yang menarik dalam teknologi pengolahan limbah. Insinerasi mengurangi volume dan massa limbah hingga sekitar 90% (volume) dan 75% (berat). Teknologi ini sebenarnya bukan solusi final dari sistem pengolahan limbah padat karena pada dasarnya hanya memindahkan limbah dari bentuk padat yang kasat mata ke bentuk gas yang tidak kasat mata. Proses insinerasi menghasilkan energi dalam bentuk panas. Namun, insinerasi memiliki beberapa kelebihan di mana sebagian besar dari komponen limbah B3 dapat dihancurkan dan limbah berkurang dengan cepat. Selain itu, insinerasi memerlukan lahan yang relatif kecil.
Aspek penting dalam sistem insinerasi adalah nilai kandungan energi (heating value) limbah. Selain menentukan kemampuan dalam mempertahankan berlangsungnya proses pembakaran, heating value juga menentukan banyaknya energi yang dapat diperoleh dari sistem insinerasi. Jenis insinerator yang paling umum diterapkan untuk membakar limbah padat B3 ialah rotary kiln, multiple hearth, fluidized bed, open pit, single chamber, multiple chamber, aqueous waste injection, dan starved air unit. Dari semua jenis insinerator tersebut, rotary kiln mempunyai kelebihan karena alat tersebut dapat mengolah limbah padat, cair, dan gas secara simultan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar