Paper Toksikologi
Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)
Diajukan untuk memenuhi tugas-tugas mata kuliah
Toksikologi Veteriner
Oleh :
Cut Shavrina Devinta Fauzi
1102101010043
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2014
A.
Pengertian
Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)
Berdasarkan Undang-Undang No. 23/ 1997 Bahan
berbahaya dan beracun (B3) adalah setiap
bahan yang karena sifat atau konsentrasinya, jumlahnya, baik secara langsung
maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup,
kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup lainnya.
Menurut PP No. 18 tahun 1999, yang
dimaksud dengan limbah B3 adalah sisa suatu usaha dan atau kegiatan yang
mengandung bahan berbahaya dan atau beracun yang karena sifat dan atau
konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung,
dapat mencemarkan dan atau merusakan lingkungan hidup dan atau membahayakan
lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup
lain.
Pasal 1 Peraturan Pemerintah
No. 18 tahun 1999
Limbah
adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan.
Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun, disingkat Limbah B3 : sisa suatu usaha dan/atau kegiatan
yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau
konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung
dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup, dan/atau dapat
membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta
makhluk hidup lain.
Pengelolaan
Limbah B3 : rangkaian kegiatan yang mencakup reduksi, penyimpanan, pengumpulan,
pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan dan penimbunan limbah B3.
Penghasil
limbah B3 : orang atau badan usaha yang menghasilkan limbah B3 dan menyimpan
sementara limbah tersebut dalam lokasi kegiatannya sebelum diserahkan ke pihak
lain.
Program
kemitraan dalam pengeloaan limbah B3 yang selanjutnya disingkat KENDALI B3
adalah program secara kebersamaan antara Bapedal, Pemerintah daerah dan badan
usaha dalam pengendalian limbah B3 dengan tujuan untuk mengelola limbah B3 yang
dihasikan secara baik dan benar.
Definisi limbah B3 berdasarkan BAPEDAL
(1995) ialah setiap bahan sisa (limbah) suatu kegiatan proses produksi
yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) karena sifat (toxicity,
flammability, reactivity, dan corrosivity) serta
konsentrasi atau jumlahnya yang baik secara langsung maupun tidak langsung
dapat merusak, mencemarkan lingkungan, atau membahayakan kesehatan manusia.
B.
Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)
Secara spesifik
pengelolaan B3 ini telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 74 tahun
2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun yaitu dengan meningkatnya kegiatan
pembangunan terutama dibidang industri dan perdagangan, maka akan semakin
meningkat penggunaan bahan berbahaya dan beracun. Hingga saat ini terdapat
beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan bahan berbahaya
dan beracun, akan tetapi pencegahan terjadinya pencemaran dan kerusakan
linkungan hidup masih belum cukup memadai.
Beberapa usaha yang
dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya dampak yang dapat merusak lingkungan hidup,
kesehatan manusia, dan makhluk hidup lainnya diperlukan pengelolaan B3 secara
terpadu sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang didasarkan
terhadap pertimbangan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 17 ayat (3) Undang-undang
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlu menetapkan
Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun.
Pengelolaan B3 adalah
kegiatan yang menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan, menggunakan dan
atau membuangnya. B3 dapat diregistrasikan dengan pendaftaran dan pemberian nomor terhadap B3
yang ada di wilayah Republik Indonesia. B3 dapat disimpan dengan teknik
penempatan B3 untuk menjaga kualitas dan kuantitas B3 dan/atau mencegah dampak
negatif B3 terhadap lingkungan hidup, kesehatan manusia, dan makhluk hidup
lainnya. B3 yang dapat dipergunakan atau dilarang dipergunakan adalah B3 yang
dibatasi penggunaan, impor dan atau produksinya. Instansi yang bertanggung
jawab adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak
lingkungan. Gubernur, Bupati/Walikota dan Menteri adalah instansi yang bertugas
untuk mengelola lingkungan hidup masyarakat dalam penggunakan bahan berbahaya
dan beracun.
Tujuan
pengelolaan bahan berbahaya dan beracun yaitu untuk mencegah dan menanggulangi
pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh limbah B3.
Tujuan lain dari pengolahan B3 yaitu untuk dapat memperbaiki kualitas
lingkungan yang sudah tercemar sehingga sesuai dengan fungsinya kembali.
Setiap
kegiatan atau usaha yang berhubungan dengan B3, harus memperhatikan aspek
lingkungan dan menjaga kualitas lingkungan tetap pada kondisi semula. Apabila
terjadi pencemaran akibat bahan berbahaya dan beracun, maka harus dilakukan
upaya secara optimal agar kualitas lingkungan kembali
kepada fungsi semula.
C.
Klasifikasi
Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)
Pengidentifikasian limbah bahan
berbahaya dan beracun digolongkan ke dalam 2 kategori, yaitu:
1.
Berdasarkan sumber
2.
Berdasarkan karakteristik
Golongan
limbah bahan berbahaya dan beracun yang berdasarkan oleh sumber dibagi menjadi:
1.
Limbah B3 dari sumber spesifik
2.
Limbah B3 dari sumber tidak spesifik
3.
Limbah B3 dari bahan kimia kadaluarsa, tumpahan, bekas
kemasan dan buangan produk yang tidak memenuhi spesifikasi.
Klasifikasi bahan berbaya dan beracun yang berdasarkan
karakteristik ditentukan dengan:
1.
Mudah meledak (explosive), yaitu bahan
yang pada suhu dan tekanan standar (25 0C,760 mmHg) dapat meledak
atau melalui reaksi kimia dan atau fisika dapat menghasilkan gas dengan suhu
dan tekanan tinggi yang dengan cepat dapat merusak lingkungan di sekitarnya.
Pengujiannya dapat dilakukan dengan menggunakan Differential Scanning Calorymetry
(DSC) atau Differential Thermal Analysis (DTA), 2,4-dinitrotoluena atau
Dibenzoil-peroksida sebagai senyawa acuan. Apabila nilai temperatur pemanasan
suatu bahan lebih besar dari senyawa acuan, maka bahan tersebut
diklasifikasikan mudah meledak.
2.
Pengoksidasi (oxidizing), yaitu pengujian bahan padat yang termasuk
dalam kriteria B3 pengoksidasi dapat dilakukan dengan metoda uji pembakaran
menggunakan ammonium persulfat sebagai senyawa standar. Sedangkan untuk bahan
berupa cairan, senyawa standar yang digunakan adalah larutan asam nitrat.
Dengan pengujian tersebut, suatu bahan dinyatakan sebagai B3 pengoksidasi
apabila dalam waktu pembakaran bahan tersebut sama atau lebih pendek dari waktu
pembakaran senyawa standar.
3.
Sangat mudah sekali menyala
(extremely flammabel), adalah B3
baik berupa padatan maupun cairan yang memiliki titik nyala dibawah 00C
dan titik didih lebih rendah atau sama dengan 35 0C.
4.
Sangat mudah menyala (highly
flammable), adalah B3
baik berupa padatan maupun cairan yang memiliki titik nyala 00C – 210C.
5.
Mudah menyala (flammable) mempunyai salah satu sifat sebagai berikut :
a.
Bahan berupa cairan yang
mengandung alkohol kurang dari 24% volume dan atau pada titik nyala (flash
point) tidak lebih dari 600 C (1400 F) akan menyala apabila terjadi kontak
dengan api, percikan api, atau sumber nyala lain pada tekanan udara 760 mmHg.
Pengujiannya dapat dilakukan dengan metode “Closed-Up Test”.
b.
Bahan berupa padatan yang pada temperatur dan tekanan standar (250C,
760 mmHg) dengan mudah terjadinya kebakaran melalui gesekan, penyerapan uap air
atau perubahan kimia secara spontan dan apabila terbakar dapat menyebabkan
kebakaran yang terus menerus dalam 10 detik. Selain itu, suatu bahan padat
diklasifikasikan B3 mudah terbakar apabila dalam pengujian dengan metode “ Seta
closed-Up Flash Point Test” diperoleh titik nyala kurang dari 400C.
6.
Beracun (moderately toxic), yaitu B3 yang bersifat racun bagi
manusia akan menyebabkan kematian atau sakit yang serius apabila masuk ke dalam
tubuh melalui pernafasan, kulit atau mulut.
7.
Berbahaya (harmful), adalah bahan
baik padatan maupun cairan ataupun gas yang jika terjadi kontak atau melalui
inhalasi ataupun oral dapat menyebabkan bahaya terhadap kesehatan sampai
tingkat tertentu.
8.
Korosif (corrosive), adalah B3 yang bersifat korosif mempunyai
sifat antara lain:
a.
Menyebabkan iritasi (terbakar) pada kulit
b.
Menyebabkan proses pengkaratan pada lempeng baja SAE
1020 dengan laju korosi lebih besar dari 6,35 mm/tahun dengan temperatur
pengujian 55 0C.
c.
Mempunyai pH sama atau kurang dari 2 untuk B3 bersifat
asam dan sama atau lebih besar dari 12,5 untuk yang bersifat basa.
9.
Bersifat iritasi (irritant), adalah bahan baik padatan maupun cairan yang
jika terjadi kontak secara langsung, dan apabila kontak tersebut terus menerus
dengan kulit atau selaput lendir dapat menyebabkan peradangan.
10. Berbahaya
bagi lingkungan (dangerous to the environment, yaitu bahaya yang ditimbulkan oleh suatu
bahan seperti merusak lapisan ozon (misalnya CFC), persisten di lingkungan
(misalnya PCBs), atau bahan tersebut dapat merusak lingkungan.
11. Karsinogenik
(carcinogenic), adalah sifat
bahan penyebab sel kanker, yakni sel liar yang dapat merusak jaringan tubuh.
12. Teratogenik
(teratogenic), adalah sifat
bahan yang dapat mempengaruhi pembentukan dan pertumbuhan embrio.
13. Mutagenik
(mutagenic), adalah sifat
bahan yang menyebabkan perubahan kromosom yang berarti dapat merubah genetika.
D. Teknologi
Pengolahan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)
Terdapat banyak metode pengolahan limbah B3 di
industri, tiga metode yang paling populer di antaranya ialah chemical
conditioning, solidification/Stabilization, dan incineration.
1.
Chemical Conditioning
Salah satu teknologi pengolahan limbah B3 ialah chemical
conditioning. Tujuan utama dari chemical conditioning ialah:
- menstabilkan senyawa-senyawa organik yang terkandung di dalam lumpur
- mereduksi volume dengan mengurangi kandungan air dalam lumpur
- mendestruksi organisme patogen
- memanfaatkan hasil samping proses chemical conditioning yang masih memiliki nilai ekonomi seperti gas methane yang dihasilkan pada proses digestion
- mengkondisikan agar lumpur yang dilepas ke lingkungan dalam keadaan aman dan dapat diterima lingkungan
pengolahan limbah B3 dengan metode Chemical conditioning terdiri
dari beberapa tahapan sebagai berikut:
o Concentration
thickening, tahapan ini bertujuan untuk mengurangi volume lumpur yang akan diolah
dengan cara meningkatkan kandungan padatan. Alat yang umumnya digunakan pada
tahapan ini ialah gravity thickener dan solid bowl centrifuge.
Tahapan ini pada dasarnya merupakan tahapan awal sebelum limbah dikurangi kadar
airnya pada tahapan de-watering selanjutnya. Walaupun tidak sepopuler gravity
thickener dan centrifuge, beberapa unit pengolahan limbah
menggunakan proses flotation pada tahapan awal ini.
o Treatment,
stabilization, and conditioning, tahapan kedua ini bertujuan untuk
menstabilkan senyawa organik dan menghancurkan patogen. Proses stabilisasi
dapat dilakukan melalui proses pengkondisian secara kimia, fisika, dan biologi.
Pengkondisian secara kimia berlangsung dengan adanya proses pembentukan ikatan
bahan-bahan kimia dengan partikel koloid. Pengkondisian secara fisika
berlangsung dengan jalan memisahkan bahan-bahan kimia dan koloid dengan cara
pencucian dan destruksi. Pengkondisian secara biologi berlangsung dengan adanya
proses destruksi dengan bantuan enzim dan reaksi oksidasi. Proses-proses yang
terlibat pada tahapan ini ialah lagooning, anaerobic digestion, aerobic
digestion, heat treatment, polyelectrolite flocculation, chemical
conditioning, dan elutriation.
o De-watering
and drying, bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi
kandungan air dan sekaligus mengurangi volume lumpur. Proses yang terlibat pada
tahapan ini umumnya ialah pengeringan dan filtrasi. Alat yang biasa digunakan
adalah drying bed, filter press, centrifuge, vacuum
filter, dan belt press.
o Disposal, ialah
proses pembuangan akhir limbah B3. Beberapa proses yang terjadi sebelum limbah
B3 dibuang ialah pyrolysis, wet air oxidation, dan composting.
Tempat pembuangan akhir limbah B3 umumnya ialah sanitary landfill, crop
land, atau injection well.
2.
Solidification/Stabilization
Di samping chemical conditiong, teknologi solidification/stabilization
juga dapat diterapkan untuk mengolah limbah B3. Secara umum stabilisasi dapat
didefinisikan sebagai proses pencapuran limbah dengan bahan tambahan (aditif)
dengan tujuan menurunkan laju migrasi bahan pencemar dari limbah serta untuk
mengurangi toksisitas limbah tersebut. Sedangkan solidifikasi didefinisikan
sebagai proses pemadatan suatu bahan berbahaya dengan penambahan aditif. Kedua
proses tersebut seringkali terkait sehingga sering dianggap mempunyai arti yang
sama. Proses solidifikasi/stabilisasi berdasarkan mekanismenya dapat dibagi
menjadi 6 golongan, yaitu:
·
Macroencapsulation, yaitu proses dimana bahan
berbahaya dalam limbah dibungkus dalam matriks struktur yang besar
·
Microencapsulation, yaitu proses yang mirip
macroencapsulation tetapi bahan pencemar terbungkus secara fisik dalam struktur
kristal pada tingkat mikroskopik
·
Adsorpsi, yaitu proses dimana bahan pencemar
diikat secara elektrokimia pada bahan pemadat melalui mekanisme adsorpsi.
·
Absorbsi, yaitu proses solidifikasi bahan
pencemar dengan menyerapkannya ke bahan padat
·
Detoxification, yaitu proses mengubah suatu
senyawa beracun menjadi senyawa lain yang tingkat toksisitasnya lebih rendah
atau bahkan hilang sama sekali
Teknologi
solidikasi/stabilisasi umumnya menggunakan semen, kapur (CaOH2), dan bahan
termoplastik. Metoda yang diterapkan di lapangan ialah metoda in-drum
mixing, in-situ mixing, dan plant mixing. Peraturan mengenai
solidifikasi/ stabilitasi diatur oleh BAPEDAL berdasarkan
Kep-03/BAPEDAL/09/1995 dan Kep-04/BAPEDAL/09/1995.
3. Incineration
Teknologi pembakaran (incineration ) adalah
alternatif yang menarik dalam teknologi pengolahan limbah. Insinerasi
mengurangi volume dan massa limbah hingga sekitar 90% (volume) dan 75% (berat).
Teknologi ini sebenarnya bukan solusi final dari sistem pengolahan limbah padat
karena pada dasarnya hanya memindahkan limbah dari bentuk padat yang kasat mata
ke bentuk gas yang tidak kasat mata. Proses insinerasi menghasilkan energi
dalam bentuk panas. Namun, insinerasi memiliki beberapa kelebihan di mana
sebagian besar dari komponen limbah B3 dapat dihancurkan dan limbah berkurang
dengan cepat. Selain itu, insinerasi memerlukan lahan yang relatif kecil.
Aspek penting dalam sistem insinerasi adalah nilai
kandungan energi (heating value) limbah. Selain menentukan kemampuan
dalam mempertahankan berlangsungnya proses pembakaran, heating value juga
menentukan banyaknya energi yang dapat diperoleh dari sistem insinerasi. Jenis
insinerator yang paling umum diterapkan untuk membakar limbah padat B3 ialah rotary
kiln, multiple hearth, fluidized bed, open pit, single
chamber, multiple chamber, aqueous waste injection, dan starved
air unit. Dari semua jenis insinerator tersebut, rotary kiln
mempunyai kelebihan karena alat tersebut dapat mengolah limbah padat, cair, dan
gas secara simultan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar